Jumat, 20 Mei 2011

motifasi hadits


BAB II
PEMBAHASAN
AL-JARH WA TA’DIL
A.    Pengertian dan Kegunaan al-Jarh wa Ta’dil
1.      Pengetian al-Jarh wa Ta’dil
Al-Jarh secara bahasa merupakan isim mashdar yang berarti luka yang mengalirkan darah atau sesuatu yang dapat menggugurkan ke‘adalahan seseorang. Keadaan luka dalam hal ini dapat berkaitan dengan fisik, misalnya luka terkena senjata tajam, ataupun luka yang berkaitan dengan non-fisik, misalnya lika hati karena kata-kata kasar yang dilontarkan oleh seseorang[1].
Al-Jarh menurut Muhadditsin adalah menunjukkan sifat-sifat cela rawi yang mencacatkan ‘adalah atau kedhabithannya[2].
Al-Jarh menurut istilah ulumul hadits adalah tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil, atau yang buruk di bidang hafalannya dan kecermatannya, yang menyebabkan gugurnya atau lemahnya riwayat yang disampaikan periwayat tersebut[3].
At-Ta’dil yaitu pensifatan perawi dengan sifat-sifat yang mensucikannya, sehingga nampak ke‘adalahannya, dan diterima beritanya. At-Ta’dil diartikan sebagai kebalikan dari al-Jarh, yaitu menilai bersih seorang perawi dan memposisikannya sebagai perawi yang adil atau dhabit. At-Ta’dil merupakan upaya mensifati perawi dengan sifat-sifat yang dapat mensucikan diri perawi tersebut dri sifat-sifat tercela sehingga tampak keadilannya sehingga riwayatnya dapat diterima[4].
Jadi dapat disimpulkan al-Jarh wa al-Ta’dil adalah ilmu yang membahas tentang masalah-masalah perawi, baik keadaan yang membicarakan sifat-sifat keadalahannya maupun sifat kecacatanya, yang berpengaruh terhadap diterima atau tidaknya riwayatnya.
2.      Kegunaan al-Jarh wa Ta’dil
Ilmu Jarh Wa Al-Ta'dil sangat berguna untuk menentukan kualitas perawi dan nilai hadisnya. Membahas sanad terlebih dahulu harus mempelajari kaidah-kaidah ilmu Jarh wa al-Ta'dil yang telah banyak dipakai para ahli, mengetahui syarat-syarat perawi yang dapat diterima, cara menetapkan keadilan dan kedhabitan perawi dan hal-hal lain yang berhubungan dengan bahasan ini. Seseorang tidak akan dapat memperoleh biografi, jika mereka tidak terlebih dahulu mengetahui kaidah-kadah Jarh dan Ta'dil, maksud dan derajat (tingkatan) istilah yang dipergunakan dalam ilmu ini, dari tingkatan Ta'dil yang tertinggi sampai pada tingkatan Jarh yang paling rendah.
Jelasnya ilmu Jarh wa Ta'dil ini dipergunakan untuk menetapkan apakah periwayatan seorang perawi itu bisa diterima atau harus ditolak sama sekali. Apabila seorang perawi "dijarh" oleh para ahli sebagai rawi yang cacat, maka periwayatannya harus ditolak. Sebaliknya bila dipuji maka hadisnya bisa diterima selama syarat-syarat yang lain dipenuhi.
Adapun informasi Jarh  dan Ta'dilnya seorang rawi bisa diketahui melalui dua jalan, yaitu:
a.       Popularitas para perawi di kalangan para ahli ilmu bahwa mereka dikenal sebagai orang yang adil, atau rawi yang mempunyai 'aib. Bagi yang sudah terkenal dikalangan ahli ilmu tentang keadilannya, maka mereka tidak perlu lagi diperbincangkan lagi keadilannya, begitu juga dengan perawi yang terkenal dengan kefasikan atau dustanya maka tidak perlu lagi dipersoalkan.
b.      Berdasarkan pujian atau pen-Tarjih-an dari rawi lain yang adil. Bila seorang rawi yang adil menta'dilkan seorang rawi yang lain yang belum dikenal keadiannya, maka telah dianggap cukup dan rawi tersebut bisa menyandang gelar adil dan periwayatannya bisa di terima. Begitu juga dengan rawi yang di Tarjih. Bila seorang rawi yang mentarjihnya maka periwayatannya menjadi tidak bisa diterima.
Sementara orang yang melakukan ta'dil dan tarjih harus memenuhi syarat sebagai berikut: berilmu pengetahuan, taqwa, wara', jujur, menjauhi sifat fanatik terhadap golongan dan mengetahui ruang lingkup ilmu jarh dan ta'dil ini[5].

B.     Kriteria Ulama al-Jarh wa Ta’dil
Seorang ulama al-Jarh wa Ta’dil harus memenuhi kriteria-kriteria yang menjadikannya obyektif dalam upaya menguak karakteristik para periwayat. Syarat-syaratnya adalah :
1.      Berilmu, bertaqwa dan jujur
2.      Mengetahui sebab-sebab jarh wa Ta’dil
3.      Mengetahui penggunaan kalimat bahasa Arab, agar suatu lafadz yang digunakan tidak dipakai unutk selain maknanya.
4.      Laki-laki, perempuan, adil dan merdeka.
5.      Bersikap obyektif sehingga ia tidak meninggikan seorang rawi dari martabat yang sebenarnya atau merendahkannya.
6.      Tidak boleh hanya mengutip Jarh saja[6].
C.    Metode Ulama Dalam Melakukan Kritik
Akhir-akhir ini, umat Islam disuguhkan oleh tulisan-tulisan atau pikiran yang secara berani melakukan kritik terhadap hadis Nabi. Baik dari sisi matan (konten, isi), ataupun dari sisi perawi. Metodologi yang datang terkahir ini disinyalir adalah upaya pengkaburan terhadap ajaran Islam yang dilakukan oleh kelompok-kelompok yang benci terhadap Islam (Islamophobia).
Yang ironis lagi, kritik terhadap hadis tidak selalu datang dari orang di luar Islam, tetapi dari internal umat Islam sendiri kerapkali muncul pernyataan-pernyataan yang mengkritik hadis Nabi, mengkritik para sahabat Nabi, Imam Bukhari, dan beberapa imam Muhaddis lainnya.
Ada beberapa indikasi yang bisa kita tangkap dibalik semaraknya upaya mengkritik para sahabat ataupun imam Muhaddis. Di antaranya adalah karena mereka telah terkontaminasi oleh pemikiran orang luar Islam (kafir Barat) yang memang sengaja memperalat generasi Muslim agar meragukan ajarannya sendiri. Atau bisa jadi, mereka lemah di bidang ilmu hadis, sebagaimana yang telah dirumuskan para ahli hadis sejak beberapa abad yang lalu. Dan masih banyak inidikasi lain yang menjadi penyebab mengapa mereka mengkritik hadis.
Sebenarnya dalam disiplin ilmu hadis (Mushtahalahul Hadits), ada istilah yang disebut dengan Ilmu al-Jarh wa at-Ta’dil. Yaitu metodologi arif yang dilakuakan untuk memproteksi (menjaga kemurnian) sebuah hadis. Atau bisa juga disebut dengan Ilmu Kritik Hadis. Mengkritik hadis yang dimaksudkan adalah untuk menentukan keshahihan atau derajat suatu hadis.
Kajian kritik hadis bermula ketika pada abad kedua hijriyah banyak ditemukan hadis-hadis palsu. Para sarjana ilmu hadis kemudian mengembangkan metodologi untuk menyaring dan melestarikan sunnah. Metodologi ini sudah dibakukan dan menjadi kesepakatan bersama para ulama ahli hadis.
Namun sayangnya, banyak ilmuan melakukan kesalahan dalam melakukan kritik (naqd). Kesalahan metode ini ada yang disengaja dan ada yang memang salah memahami metodologi kritik hadis. Kritik yang dimaksud bukan lagi disemangati oleh keingingan meneliti kebenaran riwayat, akan tetapi berubah menjadi kritik meruntuhkan yang didominasi oleh motivasi negatif. Akibat dari kesalahan metode ini tercipta produk hukum yang syadz (menyalahi aturan).
Satu bidang yang dikaji dalam kritik hadis adalah kritik sanad dan matan. Telah menjadi ijma’ ulama, bahwa seorang rawi haruslah ’adil, dhabith (teliti), tsiqqah (cermat), tidak mudallis (berbohong), dan memiliki kemampuan menghafal yang kuat.
Berbohong satu kali saja, akan mengurangi bobot kesahihan suatu hadis. Yang dimaksud adil adalah sang perawi berakidah benar, melaksanakan apa yang diperintah syariat dan menjauhi semua larangan. Bersikap wara’, bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia. Sedang dhabit adalah mempunyai kesempurnaan berpikir, tidak pelupa dan cerdas serta tangkas. Hafalannya kuat dan mudah mengerti apa yang diterima.
Mengambil hadis dari para pendusta, orang fasik dan ahlu bid’ah atau ahlul ahwa’ (pengikut aliran sesat) jelas tidak boleh. Bisa saja mengambil hadis dari orang-orang dengan kategori di atas, akan tetapi disertai syarat-syarat khusus. Seorang ahli bid’ah misalnya bisa diambil riwayatnya, apabila bid’ahnya tidak menyebabkan kufur, tidak menghalalkan dusta dan tidak menyeru kepada madzhabnya untuk melakukan kesesatan dan kedustaan.
Selain itu sanad hadis harus ittishal (berkesinambungan) dari rawi pertama sampai rawi yang terakhir. Setiap rawi harus mendengar hadis yang ia riwayatkan itu dari perawi di atasnya. Imam Bukhari dalam hal ini menentukan syarat yang lebih ketat di banding ulama hadis lainnya. Yang dimaksud hadis bersambung (muttashil) adalah bila seorang perawi tidak saja mendengar hadis yang ia riwayatkan itu dari perawi di atasnya dan hidup sezaman saja, tetapi harus bertemu langsung. Syarat harus bertemu langsung inilah yang menambah bobot dan kualitas keshahihan hadits.
Suatu hadis, bisa langsung ditolak apabila hadis itu terbukti benar-benar palsu. Untuk mengetahui riwayat itu palsu atau tidak, ada beberapa kriteria yang telah dirumuskan oleh para ulama:
1.      Pengakuan tegas dan terang dari si pemalsu sendiri bahwa ia telah memalsukan suatu riwayat.
2.      Kelemahan lafadz hadis sehingga ahli bahasa dapat mengetahui bahwa perkataan itu tidak mungkin keluar dari orang yang fasih bahasanya.
3.      Kelemahan makna, meskipun lafalnya tidak lemah. Misalnya makna itu bertentangan dengan akal dan tidak mungkin ditakwilkan pada asalnya. Karena syariat tidak mungkin bertentangan dengan akal yang sehat. Ibnu Jauzi mengatakan, “Setiap hadis yang anda melihatnya bertentangan dengan akal dan ushul, maka ketahuilah bahwa hadis itu maudhu’.
4.      Bilamana bertentangan dengan al-Qur’an atau Sunnah yang mutawatir atau ijma’ di samping tidak bisa ditakwilkan.
5.      Bila hadis itu berisi ancaman yang keras terhadap perkara yang kecil atau janji pahala besar atas perbuatan yang remeh.
6.      Bila perawinya adalah seorang Rafidhah (Syi’ah) terutama berisi tentang keutaman ahlul bait. Sebab, kelompok Rafidhah terkenal dengan kaum pandai berdusta dan membuat hadis-hadis palsu[7].
Demikianlah kriteria-kriteria mengkritik hadis yang telah menganalisa untuk mnyeleksi hadis-hadis shahih dan melindungi dari riwayat-riwayat yang palsu. Setiap kritikus hadis mesti harus dibarengai dengan niat yang ikhlas, keimanan yang murni dan berpedoman pada rambu-rambu yang telah ditetapkan. Jika tidak, hadis-hadis yang shahih dilemahkan atau hadis palsu dishahihkan.

D.    Tingkat al-Jarh wa Ta’dil
Ibnu Abu Hatim membagi Jarh wa Ta’dil  menjadi 4 tingkatan, kemudian para ulam menambah masing-masing menjadi 2 tingkatan, dan dapat diuraukan sebagai berikut :
1.      Tingkatan Jarh
a.       Dengan lafal yang menunjukan arti lemah.
Contoh :
1)      Si Fulan adalh orang yang lunak hadisnya.
2)      Si Fulan adalh oarang yang diperbincangkan kualitasnya.
b.      Dengan lafal yang menjelaskan bahwa riwayatnya tidak dapat dipakai sebagai hujjah.
Contoh :
1)      Si Fulan hadisnya tidak dapat dipakai hujjah.
2)      Dia adalah perawai lemah.
3)      Mulanya dia adalah perawi yang mungkar.
c.       Dengan lafal yang menjelaskan bahwa hadisnya tidak ditulis.
Contoh :
1)      Si fulan hadisnya tidak ditulis.
2)      Tidak halal riwayat hadis darinya.
3)      Dia adalah orang yang sangat lemah.
4)      Dia adalah oarang yang sering menduga-duga.
d.      Dengan lafal yang mengandung arti dugaan dusta.
Contoh :
1)      Si fulan orang yang diduga dusta.
2)      Si fulan orang yang diduga bohong.
3)      Dia adalah orang yang mencuri hadis.
4)      Dia adalah orang yang gugur.
5)      Dia adalah orang yang ditinggal hadisnya.
6)      Dia adalah orang yang tidak  tsiqah.
e.       Dengan lafal yang menunjukkan sifat bohong.
Contoh :
1)      Dia adalah pembohong.
2)      Dia adalah penipu.
3)      Dia adalah pendusta.
4)      Dia dusta.
5)      Dia bohong.
f.       Dengan lafal yang menunjukkan arti sangat dusta.
Contoh :
1)      Dia adalah orang yang paling bohong.
2)      Dia adalah orang yang paling terkenal kebohongannya.
3)      Dia adalah termasuk orang yang bohong.
2.      Tingkatan Ta’dil
a.       Dengan lafal yang menunjukkan arti lebih.
Contoh :
1)      Si Fulan adalah orang yang paling terkenal keteguhan hati dan hafalannya.
2)      Si Fulan adalh orang yang mantap hafalan dan keadilannya.
b.      Dengan lafal yang mendukung kestiqahan perawi dengan satu sifat yang menunjukkan keadilan dan kedhabthannya.
Contoh :
1)      Dia betul-betul tsiqah.
2)      Dia adalah orang yang tsiqah lagi teguh.
c.       Dengan lafal yang menunjukkan arti stiqah tanpa ta’qid.
Contoh :
1)      Dia orang yang tsiqah.
2)       Dia orang yang lancar lidahnya.
d.      Dengan lafal lain yang menunjukkan arti ‘adil atau dhabith.
Contoh :
1)      Dia orang yang sangat jujur.
2)      Dia orang yang berstatus jujur.
3)      Dia orang yang tidak cacat menurut ulama.
e.       Dengan lafal yang tidak menunjukkan tsiqah dan jarh.
Contoh :
1)      Si fulan adalah seorang guru.
2)      Orang  yang meriwayatkan hadis darinya.
f.       Dengan lafal yang mendekati arti jarh.
Contoh :
1)      Si Fulan itu pantas meriwayatkan hadis.
2)      Hadisnya bias cacat[8].
E.     Pertentangan Antara Jarh dan Ta’dil
Apabila  ada pertentangan antara Jarh wa Ta’dil terhadap seorang rawi, maka jarh  didhulukan daripada Ta’dil, meskipun yang menta’dil itu lebih banyak. Karena orang yang menta’dil hanya memberitakan karakteristik yang tambak baginya, sedangkan orang yang menjarh memberitakan karakteristik yang tidak tampak dan samara bagi orang yang menta’dil.
Namun kaidah ini tidak menunjukkan kemutlakan harus didahulukannya jarh. Kaidah ini terbatas dengan dengan syarat-syarat sebagai berikut :
1.      Jarh harus dijelaskan dan harusmemenuhi semua syarat-syaratnya.
2.      orang yang menjarh tidak sentiment terhadap orang yang dijarh.
3.      Penta’dil tidak menjelaskan bahwa jarh yang tidak ada dapat diterima bagi rawi yang bersngkutan. 
F.     Jarh wa Ta’dil Terhadap Sahabat Nabi
G.    Kitab-kitab Jarh wa Ta’dil



[1] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hal. 72.
[2] Nurudin ITR, ‘Ulum Al-Hadits, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hal. 78.
[3] M. Syuhudi Ismail, op.cit., hal. 73
[4] Umi Sumbulan, Kritik Hadis Pendekatan Historis Metodologis, (Malang : UIN-Malang Press, 2008), hal. 78.
[6] Nuruddin ITR, op.cit., hal. 79-81.
[8] Mahmud Thahhan, Intisari Ilmu Hdits, (Malang : UIN-Malang Press, 2007), hal. 168-172.